Tukang Sayur Utamakan Pendidikan Anak
![]() |
Sayuran di pasar (sifathlist) |
Emak
Wijah (64) dan Abah Sakum (69) sosok orang tua yang sangat bertanggung jawab
untuk mewujudkan mimpi delapan anaknya. Pukul 03.00 para pencari cahaya kehidupan sudah terbangun dari
tidurnya untuk persiapan mengais rezeki di pasar tradiosional Ciasem, Subang.
Sejak
tahun 1980-an beliau memulai usaha menjual sayuran keliling dengan modal awal
Rp 15.000. Pukul 04.30 setelah menunaikan kewajibannya kepada Sang Pencipta,
Emak Wijah dan Abah Sakum bergegas menuju pasar dengan menaiki elp (mobil
umum). Sekitar 10 menit jarak dari rumah ke pasar.
Mereka
harus memilih sayuran yang segar untuk dijual kembali kepada pelanggan.
Bernegoisasi menentukan harga yang tepat agar mendapatkan untung dari sayuran
tersebut. Setelah selesai belanja, mereka langsung menjual sayuran kepada
pelanggan. Berkeliling dan menyusuri gang pemukiman warga dekat pasar dengan
mengais dan memikul sayuran segar dengan bakul besar hingga ke rumah.
Menawarkan
sayuran dari pintu ke pintu, menyucurkan keringat yang amat deras yang hanya
menguntungkan sedikit rupiah saja. Keadaan itu tidak memadamkan semangat untuk
berhenti mewujudkan mimpi anak-anaknya. Selalu mensyukuri rezeki pagi itu
walaupun masih tersisa timun dan bayam. Hasil menjual sayuran disisihkan untuk
uang saku anak-anaknya yang pada saat itu masih duduk di sekolah dasar.
Selesai
berkeliling tidak sempat merebahkan badan di bangku kayu. Mereka langsung
bergegas mencari sesuap nasi yaitu bekerja membantu kakak si Abah. Emak Wijah
bekerja membantu memasak dan beres-beres rumah sedangkan Abah ditugaskan untuk
mengurus sawah dan kebun milik kakaknya. Mereka bekerja dari sepulang berkeliling
menjual sayuran hingga sore hari.
Asa
yang menyala untuk menghidupi keluarga dan pendidikan anak-anaknya. Perjuangan
yang hebat. Pengorbanan yang luar biasa. Kemiskinan bukan alasan untuk minta
dikasihani. Kita masih diberi akal untuk berpikir sehat, tenaga untuk melangkah
yang lebih baik dan hati yang selalu bersyukur dalam keadaan apapun. Segala
sesuatunya memerlukan proses untuk merubah suatu keadaan. Kalau kita malas
merubah keadaan, Tuhan pun enggan merubah mereka. Karena Tuhan memerintahkan
untuk tetap berusaha merubah keadaan mereka sendiri.
Tahun
demi tahun keadaan mulai membaik, Abah tidak lagi mengais rezeki di pasar
karena dipercaya untuk mengurus sawah dan kebun sepenuhnya. Emak tetap ke pasar
dan hasil keringatnya membuahkan sebuah warung bilik di depan rumah. Kini Emak
tidak lagi berkeliling kampung menawarkan sayurannya, melainkan stay di warung selepas belanja di pasar.
Kedelapan
anak-anaknya pun mencicipi bangku sekolah semua. Walaupun ketiga anaknya hanya
sampai tingkat dasar dan keempat anaknya berakhir di tingkat menengah dan si
bungsu bisa melebihi kakak-kakaknya.
Tahun
2006 warung Emak Wijah membaik, yang semula hanya menjajakan sayuran kini
ditambah dengan bahan sembako, jajanan dan dagangan lainnya. Warungnya pun
tidak lagi bilik melainkan tembok dengan ornamen warna biru putih.
Mereka
bersyukur karena keringat kesabaran menghidupi kebutuhan keluarga dan
pendidikan telah terbayar oleh kebahagiaan anggota keluarganya. Ketujuh anaknya
sudah bekerja dan berkelurga sedangkan si bungsu masih diperjuangkan untuk
mewujudkan mimpinya di bangku kuliah. Anak-anaknya pun saling bahu membahu
memperbaiki kehidupan yang lebih bahagia lagi.
Jasa
orang tua tidak akan pernah terbayar oleh anaknya. Sebanyak apapun materil dan
kepedulian anaknya tidak akan bisa melunasi apa yang pernah diperjuangkan oleh
Ibu dan Bapaknya. Sampai saat ini 2016 Emak Wijah dan Abah Sakum tetap
konsisten menjual sayuran di warungnya.
0 komentar