Mana yang Prioritas, Hijab Hati dulu atau Menutup Aurat?
Beberapa
tahun ke belakang hingga hari ini, Hijab atau kerudung menjadi tren di
lingkungan masyarakat Indonesia. Bukan hal baru memang, hijab dari sebelum
masuknya internet pun sudah ada. Namun rasanya kali ini yang memasuki dunia
modern cukup berbeda.
Ini
sebagai gebrakan atau trend positif menurutku, ya walaupun labelnya trend tapi
ini sebagai langkah awal untuk pembiasaan diri untuk menurup aurat. Karena cukup
banyak tagline yang sampai sekarang masih dipakai oleh sebagian besar
perempuan. “Hijab hati dulu baru aurat”.
“Sebenarnya
yang bagus itu gimana sih? Hijabi hati atau aurat duluan?”
Pertanyaan
ini cukup banyak terlontar. Menurutku sih sebagai muslimah prioritas menutup
aurat terlebih dahulu. Karena hal ini sudah diajurkan atau sebuah perintah
Allah SWT yang jelas tertulis di dalam ayat Al Quran.
Salah satu ayat Al quran yang memrintahkan menutup aurat adalah Quran Surat An-Nur ayat 31.
"Katakanlah (wahai Nabi Muhammad) kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. dan hendaklah mereka menutup kain kerudung ke dadanya" (Q.S. An-Nur : 31)
Soal
hati yang masih dikatakan banyak buruknya, insya allah dengan menutup aurat
kita akan merasa dan berpikir untuk menjadi pribadi yang lebih baik di hadapan
Tuhan maupun sesama insan. Karena menutup aurat adalah step utama dalam
memperbaiki diri.
Walaupun
saya belum menjadi manusia yang baik dan bermanfaat untuk banyak orang, tapi
saya sedikit bercerita soal pengalaman saya dalam menutup aurat. Ya sapa tahu
sedikit dari cerita ini bisa memotivasi saudara, teman semua untuk mencoba
menutup aurat.
Jadi
2013 lalu, saya kuliah di salah satu Universitas swasta di Bandung. Saat itu
saya belum menutup aurat tapi sudah mulai berkerudung walaupun sekedar aturan
di SMA. Saya bertemu teman ketika mengikuti tes masuk kuliah, dan di sana saya
mulai menjalin komunikasi, yang akhirnya saya diajak untuk ikut tinggal di
salah satu asrama pondok pesantren.
Iya
namanya juga pesantren, saya wajib memakai kerudung setiap hari setiap waktu. Pakaian
pun harus tertutup, longgar, kerudung menutupi dada, dan memakai rok. Aturan ini
membuat saya bingung, karena saya tidak punya pakaian seperti itu.
Pertama
kali saya datang di asrama, saya mengenakan pakai cukup ketat. Celana jeans
ketat, baju ngepas dan kerudung asal pakai. Sempat jadi pusat perhatian di
sana, cuma saya cuek saja. akhirnya saya disarankan untuk menaati aturan
pakaian yang berlaku. Oke saya setuju walaupun dalam keadaan terpaksa. Saya beli
tiga potong rok dan kerudung.
Siang
kuliah, malam bada magrib kita wajib mengaji. Di sana ada tiga kelas yakni
kelas A untuk yang sudah kuliah, B untuk siswa SMA, dan C siswa SD dan SMP. Saya
gabung di kelas A dengan tetiba ikut di pertengahan pembahasan yang saya belum
paham.
Selama
mengikuti pelajaran di sana, saya tidak memakai hati. Ini hanya sekedar
menghormati karena saya tinggal di sana. Saya tertinggal pelajar jauh sekali
yang akhirnya turun kelas ke B ehh ternyata tidak bisa menguasai juga dan turun
lagi kelas C bersama siswa SD dan SMP. Malu sih tapi ya jalani saja.
Memasuki
tiga bulan di asrama, saya semakin gerah dan tidak nyaman. Yang berakhir saya
sering bolos mengaji, tidak pernah ikut acara besar atau diskusi, telebih
semester pertama saya juga sibuk ikut UKM di kampus.
Akhirnya
saya izin untuk keluar dari asrama, dan memilih untuk indekos di dekat kampus. Pengajuan
saya diizinkan dan keluar asrama.
Setelah
ngekos, saya pernah berpikir ini gaya pakaian tetap begini atau kembali
jahiliyah? Bersyukurnya saya bertemu dengan teman-teman yang memang yang lebih
religus. Sehingga saya urungkan niat untuk menanggalkan hijab dan tampilan
saya.
Tapi
saat itu saya semakin berani memakai pakaian gobrang tapi agak nerawang,
kerudung asal pakai tidak menutup bagian dada. Hal ini saya lakukan hingga semester
4. Setelah semester 4 lingkup perteman saya semakin luas dan kenal si A B C
yang memang lebih mengerti soal agama. Saya sering berdiskusi, curhat dan
akhirnya saya mencoba untuk berubah. Pakaian tidak menerawang, kerudung semakin
panjang hingga menutup ada.
Lantas
bagaimana hati saya, apa masih terpaksa? Ternyata setelah melewati proses yang
cukup panjang hati saya mengatakan “saya tidak mau melepas kerudung, ini sudah
passion saya dan ini adalah perintah”.
Saya
sudah ikhlas untuk menutup aurat. Setelah menutup aurat, saya semakin rajin
untuk mencari pengetahuan soal Islam. Hadir di kajian, ikut acara-acara islami,
dan berteman dengan ornag-orang yang memang membantu saya untuk berubah kea rah
positif.
Saya
memang Islam sejak dilahirkan, tapi saya begitu minim tentang ilmu pengetahuan
tenatng Islam. Baik dari akidah, fiqih, sejarah, dan lainnya. Saya hanya bisa
mengaji membaca al-quran. Setelah saya menutup aurat dan belajar sedikit demi
sedikit, Alhamdulillah dari yang cuma shalat bolong-bolong menjadi full 5 waktu
setiap harinya ditambah belajar untuk menunaikan shalat sunah.
Tapi
proses ini tidak mudah, karena ada saja orang-orang yang sinis melihat
penampilan saya. Di rumah banyak orang yang heran dengan penampilan saya. Omongan
sudah pasti ada, tapi saya sudah punya komitmen jadi santai saja
mengahadapinya. Yang pada akhirnya beberapa teman saya ikut menutup aurat. Ini hal
yang positif, walaupun tidak mengajak secara langsung karena terbiasa melihat
akhirnya mengikuti.
Saya
pun lulus dan diwisuda tepat empat tahun menuntut ilmu di perguruan tinggi. Kemudian
saya pulang dan mencari pekerjaan yang bertolak belakang dengan jurusan. Kenapa?
Karena saya kuliah dengan jurusan Ilmu Komunikasi dengan konsentrasi Ilmu
Jurnalistik. Sudah ditebak, seharusnya saya mencoba di dunia jurnalistik atau
dunia wartawan.
Tapi
hati saya menolak, karena khawatir soal pakaian saya. Saya takut jika
perusahaan menolak saya atau diterima dengan syarat lepas hijab atau sedikitnya
merubah pakaian saya. Karena selama ini saya melihat mereka yang bekerja
meliput di lapangan nyaris tidak ada yang berhijab. Kalaupun ada mereka memakai
pakaian yang ketat.
Tapi
selama tiga bulan lulus tidak kunjung ada panggilan, yang akhirnya saya mencoba
dunia jurnalistik dan diterima. Saya bekerja ke lapangan dan memakai pakaian
gombrang. Kali pertama saya bergabung dengan mereka, saya benar-benar
diperhatikan. Mungkin mereka memperhatikan bukan soal pakaian tapi hadirnya
orang baru di tengah-tengah mereka.
Jadi
ya, sebenarnya di dunia wartawan tidak ada syarat tidak boleh memakai hijab
atau pakai harus begini begitu. Pakaian sopan sudah lebih dari cukup. Saya pun
bertemu dengan beberapa teman yang berkerudung, senang sekali karena apa yang
saya pikirkan dulu tidak benar sama sekali.
Jadi
soal menutup aurat itu adalah kewajiban, dan perlu komitmen yang kuat agar
tidak gagal di tengah jalan. Rintangan pasti ada, tapi itu akan berlalu. So jangan
takut jika berhijab atau bekerudung akan sulit mendapat pekerjaan. Kamu harus
mencoba dan memulai dari sekarang. Soal hati dan ketaatan lakukan secara
bersamaan. Berhijab, menata hati, perbaiki ibadah, dan bersosialisasi secara
normal di lingkungan.
“Mari
kita coba bersama, jangan takut jangan khawatir dan jangan menunggu dihijab
ketika sudah jadi mayat”
0 komentar