Tahura Djuanda Bandung, Menyerap Energi Hutan Sambil Olahraga Saat Weekend

(Foto: Tahura Ir. H. Djuanda Bandung/sifathlist)


Bandung memiliki banyak lokasi wisata yang menarik dan nyaman untuk dikunjungi. Dari kuliner, seni, budaya, hingga alamnya yang nyaman. Sebetulnya untuk wisata alam, lebih banyak di daerah luar kota yakni di Kabupaten Bandung dan Bandung Barat.

Taman Hutan Raya (Tahura) Ir. H. Djuanda, hutan korservasi yang terletak di Dago Kota Bandung. Pun terhubung langsung ke wilayah Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Lokasinya cukup mudah dijangkau karena dekat dengan terminal Dago.

Jadi weekend lalu, saya dan teman-teman pergi ke sana. Sebuah rencana yang terealisasi, pagi sekali sudah mencari sarapan di warung kaki lima daerah Dipati Ukur. Sebetulnya bukan untuk wisata melainkan olahraga.

Selepas sarapan, kita naik angkot putih Riung-Dago dari depan Unpad sampai Terminal Dago Rp 3000. Baru kita bersiap untuk jalan kaki. Menurut GMap jaraknya 1,4 KM dengan estimasi waktu 24 menit kenyataanya kita sampai nambah waktu 6 menit-an.

Karena weekend, warga Bandung itu punya hobi bersepeda. Bukan efek pandemi ya, sebelumnya pun begitu. Kita olahraga santai, jalan berbanjar karena tidak ada trotoar sambil ngobrol. Sesekali berenti untuk istirahat dan memontret view perumahan padat sekitar.

(Foto: View saat jalan kaki/sifathlist)

Sampailah di Tahura. Pandemi ini bikin ribet sih karena pengunjung tidak bisa langsung beli tiket secara on the spot melainkan harus reservasi secara online. Nah di sini ada kejadian kesel dan gedek pokoknya.

Ketika kita reservasi, ternyata kouta sudah penuh hingga Minggu. Kalau secara mandiri mungkin kita kebagian di Senin pagi. Ketika diskusi, datanglah Bapak-Bapak yang menawarkan jasanya agar kita bisa masuk ke Tahura secara instan dengan imbalan seiklasnya.

Ok, baiknya kita sebut calo atau orang ketiga ya? bukan Cuma satu ternyata banyak bapak-bapak yang lain yang juga menawarkan. Kata seiklasnya di sini ambigu, kata teman saya bisa aja minimal Rp 20.000-an mah keluar per grup (max 5 orang). Itu bukan tiket ya, bukan. Itu imbalan jasa si bapak nanti di dalam setelah melewati pengecekan suhu kita baru beli tiket seharga Rp 15.000.

Kita menolak untuk dibantu, karena sesuai rencana kita hanya ingin menyerap energi hutan dan duduk santai setelah jalan kaki. Kita beneran gak masuk. Cuma numpang ngobrol aja di depan pengecekan suhu. Tetap menerapkan protokol kesehatan yakni menggunakan masker dan sosial distancing dengan pengunjung lain.

Jadi selama di sana kita beneran mengkritik melalui obrolan. “Buat apa menyediakan link reservasi kalau semua kuota pengunjung sudah diambil sama pihak ketiga” macam tiket bola atau konser gitulah. Mereka borong dan dijual lagi demi keuntungan pribadi.

Keselnya lagi, ternyata ini diketahui sama oknum Tahura. Karena ada oknum yang mendekat dan bilang “Udah reservasi? Kalau belum/susah minta bantuan saja ke bapak-bapak di sana” kita ketawa sinis dong. Ternyata kerja sama. Atulah, jangan dijadikan tradisi dong yang beginian tuh. Masalahnya enggak semua pengunjung punya uang lebih untuk bayar jasa mereka.

Selain itu, ternyata wisatawan asing belum diperbolehkan mengunjungi Tahura. Pertama ada 7 orang wisatawan asing datang namun balik lagi (tidak jadi masuk). Kedua ketika kita hendak turun, ada wisatawan asing lainnya yang marah-marah. Dari umpatannya sih karena dia kecewa tidak bisa masuk ikon Jawa Barat ini.

Jadi, tolonglah jangan mempersulit dengan melibatkan pihak ketiga ini. Biar pengunjung nyaman dan tidak merasa dirugikan.

Tahura Dago memiliki latar belakang sejarah dari zaman purba hingga zaman penjajahan Hindia Belanda dan Jepang. Di sana terdapat Gua Jepang, Gua Belanda, Curug Omas, Curug Dago, Penangkaran Rusa hingga Tebing Keraton. Untuk detail review lokasi wisata di dalam Tahura di tulisan selanjutnya ya.

Selama pandemi, terapkan protokol kesehatan dan menggunakan masker. Agar tidak terjadi adanya klaster baru. 

You Might Also Like

0 komentar